Langsung ke konten utama

SEMILOKA (Seminar Loka Karya): Emansipasi, Segenggam Kebebasan Tanpa Penindasan

 

Emansipasi, Segenggam Kebebasan Tanpa Penindasan

 

"Mau setinggi apapun pendidikan perempuan, ujung-ujungnya tetap saja mengurus dapur."

Kurang lebih begitulah ungkapan sebagian orang yang menganggap bahwa pendidikan bukanlah prioritas utama bagi seorang perempuan. Perempuan tak perlu berada dalam kungkungan pendidikan yang menuntut kesetaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan terhadap hak-haknya. Bahkan ironisnya, banyak sekali asumsi-asumsi yang meyakini bahwa perempuan cukuplah bisa menguasai 'dapur' jika ingin sukses menjalani hidupnya. Perempuan tak sedikitpun mendapatkan asupan kepedulian terhadap pemekaran dirinya, besar ataupun kecil pengaruhnya. Urusan dapurlah yang dituduh-tuduh sebagai tanggungjawab wanita sepenuhnya. Maka, haruslah wanita terfokus pada urusan dapur dan tak perlu menempuh kegiatan lain diluar itu. 'Dapur' dan pendidikan, dua hal yang saling bersinggungan dan tak dapat dipisahkan.

Sepotong kisah masa lalu yang telah mereformasi masa kini. Kisah yang telah terjadi di negeri tercinta ini. Melegenda terdengar sampai tiada lagi telinga bertanya-tanya, -saking terkenalnya-. Cerita yang menggambarkan kejadian pada abad ke-19 yang mengatakan bahwa kebebasan tak pernah sedikitpun terasa bagi perempuan-perempuan di masa itu. Ialah kisah pahit wanita di era penjajahan dulu.

Wanita menuntut kebebasan dengan maksud perihal pendidikan yang layak untuk menunjang kehidupan. Sebab kala itu, semua perempuan terisolasi pendidikan dengan dalih bahwa perempuan secara kodrati bertugas mengurus rumah. Perempuan sama sekali tak boleh untuk mengenyam pendidikan seperti laki-laki. Sejatinya kisah itu takkan berhenti, tak ubahnya semut yang berjalan diatas batu di malam hari, --suram-- jika tanpa kepedulian seorang pejuang


 

yang telah berperan. Kisah kelam itu telah berujung cita setelah seorang perempuan merebut titel kebebasan dari mereka yang menanamkan benih pemikiran 'perempuan hanya bertugas mengurus dapur'. Ialah Raden Ajeng Kartini, sang pejuang kecerdasan tanpa penindasan.

Kartini, seperti itu biasanya ia dikenal dan diketahui banyak orang termasuk para milenial. Ia begitu gigih memperjuangkan pendidikan bagi wanita yang diharap bisa membuahkan kecerdasan dengan ditempuh tanpa penindasan dari siapapun, --seperti judul bacaan ini--. Generasi milenial tentu sudah tak lagi merasakan beratnya perjuangan di masa lalu untuk meraih secercah kebahagiaan lewat kebebasan berpikir. Kini, semua sudah bisa dengan mudah kita dapatkan , lakukan, dan rasakan. Tentulah generasi milenial harus mengapresiasi segala kemurahan hati para pejuang yang telah membuat kita hidup nyaman saat ini. Termasuk pahlawan bagi pendidikan yang kita enyam sekarang.

Ada suatu perjuangan yang tak bisa dipandang sebelah mata, perjuangan melepaskan diri dari pengekangan hukum terhadap wanita dalam aspek pendidikan dan sosial yang rendah. Emansipasi, begitulah kita menyebutnya. Emansipasilah yang telah membawa para wanita hingga berada di koridor kebebasan berpikir, berpendapat, dan berpendidikan tinggi seperti saat ini. Seperti halnya lelaki, para wanita bisa meraih mimpi yang selama ini hanya terangkai dalam benak imajinasi. Para wanita tak lagi tertatih-tatih dalam membangun 'dapur' sebab kebodohan tak lagi melekat dalam diri. Setiap pendidikan yang didapat, mematangkan pemikiran yang selama itu hanya menjadi sebuah tunas tak berkembang. Yang mana dari emansipasilah, tercipta perempuan-perempuan hebat yang tak lagi terkungkung dalam kebodohan.

Emansipasi ditambah kehidupan milenial yang serba menginginkan kebebasan, tentu akan menjadi hal yang sangat menguntungkan. Ada banyak orang yang menginginkan kebebasan --termasuk perempuan milenial-- seiring


 

bertambahnya kebutuhan untuk meluaskan pemikiran demi kehidupan yang lebih baik. Kedepannya dapat berimbas bukan hanya untuk pribadi, tapi untuk negeri sendiri.

Lalu, sepenting apakah emansipasi bagi para milenial?

 

Jika ditanya demikian, tentu jawabnya bukan hanya sepatah atau dua patah kata tapi bisa diuraikan seluas mungkin, karena ada banyak manfaat darinya. Jika ingin tahu dampak emansipasi, tanyakanlah pada para wanita yang telah sukses membangun kontribusi bagi negeri maupun pribadi. Di era milenial ini ada banyak sosok yang bisa ditunjuk sebagai teladan. Sebut saja Merry Riana yang pada usia 26 tahun telah berhasil menyandang predikat miliader muda Indonesia karena kesuksesannya sebagai seorang pengusaha, penulis sekaligus motivator. Ia pun turut memberikan kontribusi bagi masyarakat luas dengan membuat berbagai badan usaha dan motivasi yang tertata rapi dalam video di kanal youtube-nya. Lalu, apa semua titel itu diraih dengan hanya terkungkung diam di dalam rumah? Tentulah tidak, Sobat.

Begitulah umpamanya, tentu untuk bisa menjadi pribadi yang berkualitas tentu membutuhkan usaha lebih untuk meraihnya termasuk memilih menjadi terdidik. Mengapa wanita harus berpedidikan? Karena wanita kelak akan menjadi seorang ibu, sebagai “gudang ilmu”, “pusat peradaban”, dan “wadah” yang akan menghimpun anak-anaknya menuju kebaikan. Peran inilah yang menuntut seorang perempuan untuk membekali dirinya dengan ilmu yang memadai. Wanita yang terdidik setidaknya memiliki bekal lebih untuk mengurus rumah tangga dan bisa menciptakan generasi selanjutnya yang berakhlak mulia dan berwawasan tinggi. Emansipasi disebut-sebut menuntut persamaan kebebasan untuk perempuan secara keseluruhan, padahal tidak demikian. Emansipasi yang dituntut wanita adalah dalam aspek pendidikan. Wanita menginginkan ilmu untuk memajukan kehidupan.


 

Akan tetapi, bicara kontribusi hendaknya pemikiran kita ditata terlebih dahulu untuk mengenal makna kesetaraan gender. Ambil contoh ketika keduanya menjadi seorang pekerja, jika laki-laki bisa bekerja dengan kekuatan tubuh yang lebih besar dengan mengangkut bahan-bahan berat maka tidak demikian dengan wanita yang secara kontras memiliki kekuatan tubuh yang lebih rendah dibanding laki-laki. Wanita dituntut harus bisa melakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki. Jika memandang konsepsi emansipasi seperti demikian, maka tentulah perempuan manapun tak mau untuk dipersamakan. Secara koheren, kesetaraan gender adalah memposisikan masing-masing gender pada kemampuan dengan memperoleh kesamaan hak yang adil.

Setara bukan berarti sama persis, tapi setara bermakna sesuai dan sepadan.

Nah, jika pemikiran sudah ditata seperti demikian maka barulah kita memaknai apa pentingnya emansipasi. Sebenarnya, emansipasi yang dilakukan untuk menuntut persamaan hak dalam aspek pendidikan. Wanita ingin mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya laki-laki demi terlepasnya kebodohan dalam diri dan membuat kehidupan yang lebih maju. Emansipasi dapat membangun wanita berpendidikan yang dapat mengurus rumah dengan baik. Seperti pada awal pembahasan, istilah 'ujung-ujungnya pasti di dapur saja' bukanlah semata-mata tanpa ada maksud. Melihat apa yang kita lihat disekitar, masalah dapur adalah masalah yang kompleks. Masalah dapur terkait dengan masalah rumah tangga, sebab kini bahasannya bukan lagi masalah wanita dengan kehidupan sederhana namun masalah wanita dengan kehidupan kompleks yang menuntut kedewasaan. Sekarang, mari kita ubah istilah 'dapur' dengan istilah rumah tangga.

Dalam rumah tangga, terdapat banyak aspek-aspek yang harus dikuasai oleh wanita seperti ilmu mengurus anak, melayani suami, menata rumah,


 

membersihkan rumah, mengurus kesehatan keluarga, mengatur keuangan rumah tangga, dan lain-lain. Secara bersamaan, wanita menjadi sarjana ekonomi, sarjana kesehatan, sarjana ilmu keluarga, bahkan office girl dalam mengurus rumah tangganya. Pertanyaannya, apa semua itu bisa dilakukan dengan baik jika wanita hanya terkungkung diam di dalam rumah? Apa wanita dapat mengetahui semua ilmu itu jika hanya sekedar bersosialisasi dengan benda-benda di dalam rumah?

Coba bandingkan dengan keadaan sekarang dimana wanita bisa meraih semua ilmu itu dengan berguru di perguruan tinggi atau instansi sejenisnya. Wanita tak ubahnya seorang manusia yang membutuhkan sosialisasi dan relasi. Pendidikan tinggi bukan hanya sekedar memperoleh ilmu tapi jalan yang ditempuh menuju kesananyalah yang turut berperan memberi banyak pelajaran. Menambah teman dan bersosialisasi, misalnya. Karena sejatinya, pendidikan tinggi bukan hanya untuk memperoleh pekerjaan tapi untuk membangun diri menjadi pribadi yang lebih berkualitas dan lebih berilmu.

Selanjutnya, jika emansipasi menuntut untuk kebebasan bersekolah maka tentulah para wanita bisa bersosialisasi dengan sesamanya bahkan menemukan lebih banyak teman. Dalam dunia pendidikan yang berpusat pada instansi tentu akan lebih efektif sebab setiap siswa --termasuk para wanita— dapat mengimplementasikan ilmu yang ia peroleh baik secara ilmiah ataupun sosial. Misalnya, ketika kita mempelajari cara berbicara yang baik dihadapan umum tentulah dengan kita mengikuti organisasi di sekolah/perguruan tinggi akan lebih mudah untuk kita menerapkannya daripada hanya mempelajari di rumah tanpa pengimplementasian.

Namun, yang sering menjadi perbincangan adalah ketika wanita memperoleh pendidikan maka ditakutkan akan merasa ‘bisa sendiri’ dan tidak menghormati laki-laki yang tingkat pendidikannya lebih rendah darinya. Yang lebih menyulut permasalahan adalah ketika terdapat wanita yang melupakan kewajiban kodratinya untuk mengurus rumah tangga. Padahal tidak semua


 

wanita akan bersikap demikian, layaknya bunga venus flytrap yang terlihat berbahaya padahal  sebenarnya tidak sepenuhnya membahayakan.  Begitupun pendidikan bagi wanita, ketakutan-ketakutan tadi hanyalah sebuah nisbi semata,

-tergantung siapa yang menempuh pendidikan--.

 

 

Karena sejatinya wanita berpendidikan tinggi bukan untuk menyaingi lelaki tetapi untuk membangun generasi-generasi yang berakhlak mulia dan berwawasan tinggi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendaftaran MEF 2018

Himpunan Mahasiswa Pendidikan Matematika (HIMATIKA) Universitas Pasundan  Proudly Present MEF (Mathematics Education Fair) 2018             Come and Join Us ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ 1. Lomba Ngutak Ngatik   Nguteuk Matematika (LN3M) : Untuk SMA & MA Se-Provinsi Jawa Barat 2. Tahfidz Quran : SMA Se-Bandung Raya 3. Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) : Untuk Mahasiswa S1 Se-Unpas 4. Lomba MTQ :  Untuk Mahasiswa S1 Se-Unpas 4. Tabligh Akbar : Untuk umum 5. Seminar Nasional : Untuk umum Will be held on : 29 Januari 2018 -  03 Februari 2018 At Kampus II Universitas Pasundan Tamansari ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ CP for More Information: Fitrioni   Patrianto :  085711009751 Wilang Kencana Putra : 085703406101 Muhammad  Arif  Rahman :  08882316489 Rian   Andriana :  085771192219 Satriyo   Primantoro :  085815681845 ~~~~~~~~~~~...

Visi Misi HIMATIKA KITA Periode 2016-2017

PKKMB JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA (SIGMA 2018)

PKKMB Jurusan Pendidikan Matematika SIGMA 2018 Siapa nih yang kangen ospek??? Cung...... Kita kenang masa-masa PKKMB Jurusan yuk...... PKKMB merupakan kegiatan untuk memperkenalkan kampus kepada mahasiswa baru secara akademik dan awal pembentukan langkah karakter mahasiswa menjadi mahasiswa untuk memasuki lingkup perkuliahan. SIGMA (Salutation In Generation of Mathematics) 2018 adalah nama kegiatan PKKMB Jurusan Pendidikan Matematika untuk angkatan 2018. SIGMA 2018 ini dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 30 Agustus 2018 yang bertempat di Gedung FKIP Unpas Tamansari. Kegiatan SIGMA 2018 ini dibuka langsung oleh Ketua Program Studi Pendidikan Matematika yaitu Bp. Darta., M.Pd. Salah satu kegiatan yang ada di SIGMA 2018 ini yaitu kegiatan Materi. Masih inget ga nih maba gemesh materi apa aja yang ada di PKKMB jurusan??? Materi-materi yang ada di SIGMA ini yaitu materi tentang pengenalan prodi & sistem perkuliahan, pemanfaatan teknologi informatika di matematika...